Langsung ke konten utama

Dari Self Doubt ke Self Love

 "Terkadang, kita merasa bahwa suara paling keras itu datang dari orang lain (kritikan), komentar, atau ekspektasi yang bikin tertekan. Tapi sebenarnya, suara yang paling sering bikin kita ragu dan takut justru berasal dari dalam diri sendiri, dari bisikan keraguan yang nggak pernah berhenti. Lucunya, dari bisikan kecil itulah sebenarnya kekuatan terbesar untuk mulai mencintai diri sendiri perlahan-lahan mulai tumbuh."


Apa kabar, teman-teman? Semoga selalu sehat dan berbahagia. 

Seminggu ini saya nggak keluar rumah. Bukan karena sedang mengasingkan diri, tapi memang sedang menikmati me-time. Saking menikmatinya, seorang kawan bertanya, "apakah saya baik-baik saja?". Alhamdulillah, saya baik. Biasanya, orang yang mulai dan telah mengenal bagaimana saya, akan bertanya-tanya ketika saya nggak muncul dalam interaksi aktif beberapa lingkaran pertemanan. Ini karena dalam sehari-hari, biasanya saya selalu berinteraksi melalui group WhatsApp secara dua arah. Senang rasanya jika ada yang bertanya bagaimana kondisi kita, ya. Setidaknya, saya pribadi merasa ada bentuk perhatian baik yang saya apresiasi. 

Sudah berulang dalam periode-periode tertentu, saya sengaja memberi jeda untuk diri sendiri daam berinteraksi maupun bersosialisasi, baik itu dalam kehidupan nyata, maupun melalui media sosial. Kebiasaan ini memberi saya kesempatan untuk me-recharge diri saya dari segala macam hiruk pikuk. Alhamdulillah, hal tersebut sering kali berhasil. Tapi entah bagi teman-teman sendiri. Apakah pernah melakukan hal yang sama seperti saya?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya coba mengajak teman-teman untuk berefleksi sejenak. 

Pernah, nggak? teman-teman merasa nggak cukup baik, takut gagal, khawatir suaramu nggak didengar, atau bahkan merasa stuck dengan diri sendiri. "Kayanya, gue kok, gini-gini saja. Sementara orang lain terus saja mendapatkan pencapaian." Dalam pengalaman saya, keresahan itu wajar, karena ada kalanya manusia berada dalam pergolakan emosi yang naik turun. Toh, di dunia ini nggak semua hal berjalan sesuai dengan harapan kita. Hanya saja, sering kali kondisi tersebut membawa kita pada pikiran-pikiran yang semakin menyudutkan diri sendiri. Alih-alih menerimanya, bisa jadi malah membuat kita semakin ragu dan nggak percaya diri. Inilah yang disebut self-doubt : keraguan pada diri sendiri atau nggak yakin dengan potensi diri. Dalam banyak cerita, self-doubt ini sering kali dialami oleh perempuan dengan inner voice negatif.

Bagi sebagian perempuan - salah satunya saya, menyendiri adalah bentuk me-time untuk berefleksi. Namun, jika nggak berlatih memberi ruang secara sadar untuk diri sendiri, kondisi tersebut malah bisa membawa seseorang menjadi overthinking, sehingga waktu berdiam diri tersebut nggak menghasilkan apa-apa selain bertambahnya suara-suara negatif yang memengaruhi kesehatan mental dan pikiran. That's why, perlu menyadari dulu, kalau kita sedang menghadapi suara-suara negatif tersebut. Sadar kalau self doubt ini bukan sebuah kelemahan yang menjadikan kita lemah, tapi justru membuat kita aware sama sinyal untuk lebih mengenal kebutuhan diri. 

Contoh : karena keseringan scroll media sosial dengan segala informasi di dalamnya, maka sadar atau enggak, kita ke-distract untuk membandingkan diri dengan orang lain. Dari sisi potensi, pencapaian, kebahagian dan lain sebagainya. Standar sosial yang tinggi dan tekanan untuk sempurna, membuat kita merasa tertinggal dalam segala hal. Dan dampak dari hal ini bisa membuat seseorang cukup emosional. Akibatnya, kita nggak fokus dengan kesempatan untuk berkembang, tapi malah terus menerus menyalahkan keadaan. 

Di momen inilah, kesempatan diri kita untuk mengubah mindset dengan fokus untuk berkembang, dan tidak fokus pada kelemahan. Well, secara teori nampak gampang, ya. Tapi praktiknya? *ehe... saya juga nggak bilang kalau ini mudah. Apalagi buat seseorang yang memiliki genetik otak kanan bawah - yang sangat sensitif dengan emosionalnya. Karenanya, memang butuh dilatih, hingga kita bisa mengubah self doubt ini menjadi self love.

Terus, apa yang bisa dilakukan supaya nggak terjebak dengan self-doubt?

Yang pertama, tentu menyadari dulu kalau kamu sedang ada dalam kondisi tersebut. Seandainya belum yakin dengan kondisi tersebut, kamu bisa coba diskusi dengan teman dekat, pasangan, atau orang yang kamu percayai untuk memvalidasinya. Dari pengalaman saya, itu juga bisa dilatih, kok. Jadi, kalau suatu saat kamu menemukan kondisi serupa, kamu sudah tau perlu ngapain. 

Kedua - ini juga perlu dilatih. Yaitu membiasakan mengungkapkan dan menuliskan kondisi emosional kamu ke dalam jurnal. Tulis deh tuh, semuanya. Baca ulang. Biasanya setelah itu, saya menemukan bagian mana yang perlu saya kasih perhatian lebih dulu. Apakah fisik, atau mental.

Yang ketiga - dan bisa dicoba juga. Memberi ruang untuk diri sendiri. Coba mundur sejenak dari media sosial, matikan semua notifikasi, kalau perlu logout dari media sosial. Lalu tentukan, berapa lama akan memberi ruang untuk diri sendiri. Lalu lakukan hal yang mungkin belum pernah kamu lakukan. Misal, men-design ulang kamar, coba olahraga yang berbeda, coba resep masakan baru, apapun itu yang bisa bikin kamu sibuk dengan aktivitas yang menstimulus gerak. Tapi, upayakan nggak banyak rebahan terus, ya :)).

Yang keempat - kalau dirasa perlu, cari support system : teman, keluarga buat diajak ngobrol dan diskusi apapun. Tapi kalau saya as an introvert, biasanya lebih memilih banyak ngobrol sama diri sendiri sambil meditasi, yoga atau lari. Atau ya, nulis di blog seperti ini. 

Saya nggak akan merekomendasikan untuk langsung datang ke profesional, ya. Karena biasanya itu untuk orang-orang yang sudah masuk dalam tahap lebih parah dari sekadar self-doubt. Di sini, saya sharing di level pemahaman kalau teman-teman - saat ini hanya butuh kembali dan mengenal lagi diri sendiri. Dan tolak ukur itu hanya teman-teman sendiri yang mengetahuinya. 

Dari Self-Doubt ke Self Love

Bicara soal self love, saya meyakini kalau teman-teman sudah banyak terinfokan gimana caranya, atau seperti apa, lewat konten-konten di media sosial atau bacaan buku. Yang ingin saya bantu refleksikan adalah, kalau self love itu nggak mudah, tapi juga nggak terlalu sulit. Kamu perlu berlatih saja, supaya tau kalau self love bisa membuat diri kita kembali mengenal diri seutuhnya. Self love bukan mengada-ada, tapi ia adalah perjalanan diri secara sadar, sehingga membuat diri kita bertumbuh dari masa ke masa. Saya juga nggak akan menulis "kamu harus lebih banyak bersyukur." Karena saya meyakini, setiap orang punya perjalanan spiritual dengan caranya masing-masing. Di sinilah momen dengan proses yang paling indah (khususnya buat saya). Apalagi ketika akhirnya benar-benar bisa mengurai self doubt tadi menjadi self love dengan penuh makna. 

Kalau kamu merasa related dengan tulisan ini, silakan share kembali tulisan ini, atau... kalaupun sekadar ingin memvalidasi kondisi, boleh juga ya, memberi komentar di tulisan ini. "Sharing is caring"

Semoga saja kita bisa menjadi perempuan yang lebih mencintai diri sendiri dengan penuh kesadaran, dengan suara-suara positif serta afirmasi baik untuk diri sendiri. All Love 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliah Lagi - Tantangan Seru, Di Tengah Hidup Yang Mulai Santuy

Bukan hidup kalau nggak memberikan kejutan-kejutan, ya.  Tapi ya, karena kita hidup, sejatinya kita tetap memiliki harapan.  Siapa sangka, di tengah perjalanan hidup yang sudah mulai santuy, aku malah memutuskan untuk kuliah lagi. Sebuah keputusan yang awalnya datang tiba-tiba, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata punya makna besar dalam perjalanan hidupku.   Keputusan ini muncul saat aku merasa ada ruang kosong yang perlu diisi. "Kosong?" Bukannya Mira sibuk terus, ya. Kadangkala, sibuk itu nggak melulu memenuhi ruang yang ada dalam diri. Bisa jadi, beberapa hal sudah tak sejalan, namun tetap perlu dilakukan. Tapi jujur, meski sudah cukup nyaman dengan ritme slow living , ada dorongan dari dalam hati untuk kembali belajar. Karena buatku, sepanjang aku hidup, ya selama itu pula adalah proses belajar. Rumus mengosongkan gelas itu, boleh jadi selamanya akan aku pegang. Usia 40 plus-plus, tau-tau kuliah lagi. "Nyari apa sih, Mir?" :)) Jadi, awalnya begini, Di suatu sor...

Perempuan Mandiri Itu Menyenangkan, Tapi Kadang Juga Capek

Ada satu masa di beberapa tahun ke belakang, saya merasa bahwa saya ini adalah Super Mom dan Super Woman. Gimana enggak, saya perlu melakukan segalanya sendirian. Mulai dari urusan domestik rumah, anak-anak, keuangan, dan lingkungan sekitar. Rasanya menyenangkan. Karena saya bisa jadi Bos untuk diri saya sendiri. Saya juga bebas melakukan hal-hal yang saya sukai, mewujudkan mimpi-mimpi tanpa kompromi, termasuk pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Boleh jadi, kehidupan saya yang seperti itu adalah kehidupan yang diimpikan bagi para Independent Woman. Dan iya, saya menikmati semua itu. Namun di sisi lain, nggak bisa dipungkiri ada rasa lelah yang diam-diam menghampiri. Menjadi perempuan mandiri itu juga pilihan. Pun dengan kondisi saat ini ketika saya telah memiliki pasangan kembali. Terbiasa mandiri membuat saya menemukan arah langkah kaki ini ke mana dan kendali penuh atas segala hal. Hanya saja, saat ini saya perlu berkompromi dengan pasangan atas apa yang ingin saya lakukan. B...

Hati Seperti Kertas

Pernahkah kamu mendengar ungkapan bahwa "hati perempuan bagaikan kertas?" Lembaran putih yang mudah dilipat, digambar, dan diwarnai dengan tinta kata dan rasa. Ungkapan ini mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kompleksitas dan keindahan hati wanita. Kertas, dalam kesederhanaannya, memiliki kekuatan untuk menyimpan cerita. Setiap goresan pena, setiap guratan tinta, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Begitu pula hati perempuan, yang mampu menyimpan kenangan, cinta, dan luka dengan begitu detail dan penuh makna. Seperti kertas yang mudah dilipat, hati perempuan pun mudah tergerak oleh emosi. Sukacita dan kesedihan, cinta dan benci, semua dapat mewarnai hatinya dengan begitu cepat dan intens. Kepekaan ini yang membuat perempuan begitu istimewa, mampu merasakan dan memahami dunia dengan lebih mendalam. Namun, sama seperti kertas yang mudah robek, hati perempuan pun memiliki sisi rapuhnya. Luka hati, pengkhianatan, dan kekecewaan dapat meninggal...