Langsung ke konten utama

Perempuan Mandiri Itu Menyenangkan, Tapi Kadang Juga Capek

Ada satu masa di beberapa tahun ke belakang, saya merasa bahwa saya ini adalah Super Mom dan Super Woman. Gimana enggak, saya perlu melakukan segalanya sendirian. Mulai dari urusan domestik rumah, anak-anak, keuangan, dan lingkungan sekitar. Rasanya menyenangkan. Karena saya bisa jadi Bos untuk diri saya sendiri. Saya juga bebas melakukan hal-hal yang saya sukai, mewujudkan mimpi-mimpi tanpa kompromi, termasuk pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Boleh jadi, kehidupan saya yang seperti itu adalah kehidupan yang diimpikan bagi para Independent Woman. Dan iya, saya menikmati semua itu. Namun di sisi lain, nggak bisa dipungkiri ada rasa lelah yang diam-diam menghampiri.

Menjadi perempuan mandiri itu juga pilihan. Pun dengan kondisi saat ini ketika saya telah memiliki pasangan kembali. Terbiasa mandiri membuat saya menemukan arah langkah kaki ini ke mana dan kendali penuh atas segala hal. Hanya saja, saat ini saya perlu berkompromi dengan pasangan atas apa yang ingin saya lakukan. Bukan untuk menyerahkan kebahagiaan saya pada pasangan, namun lebih kepada saya menghargai pasangan dan menyeimbangkan kemandirian itu sendiri. 

Awalnya, ada perasaan sungkan untuk berbagi hal dengan pasangan. Toh, kayanya semua sudah bisa saya lakukan sendirian. Tapi saya sadar, berbagi hal dengan pasangan bukan berarti melemahnya kekuatan dalam diri, tapi saya mengijinkan seseorang juga untuk bisa berbagi hal dengan saya. 

Namun, prinsip kemandirian ini masih saya pegang teguh hingga saat ini. Ketika saya atau siapapun yang memiliki pasangan, saya merasa tetap perlu mandiri, salah satunya adalah soal keuangan.

"Menikah lagi bukan berarti menyerahkan sepenuhnya kebahagiaan pada pasangan. Kalau saya bisa menghasilkan, saya masih bisa leluasa untuk beli skincare, ngopi atau makan makanan kesukaan, dan hal lain yang ingin saya beli."

Saya ngerti banget, jadi perempuan mandiri itu menyenangkan, tapi juga capek. Bagaimanapun, saya berpikirnya, ketika usia sudah tidak lagi muda, saya butuh teman untuk berbagi. Sesederhana berbagi rasa lelah dan teman ngobrol. Apalagi anak-anak semakin besar. Suatu saat mereka akan memiliki kehidupannya masing-masing. 

Soal finanasial, kenapa saya bilang kalau saya tetap perlu mandiri secara finansial.

Pernikahan ini adalah pernikahan saya yang kedua, dan saya membawa serta anak-anak. Meskipun saya percaya suami saya saat ini bertanggung jawab terhadap saya dan juga anak-anak, tapi tentu secara pemahaman spiritual saya, bukan tugas suami saya sepenuhnya untuk pemenuhan kebutuhan anak-anak, karena mereka masih memiliki ayah kandung. Sementara, ya... banyak kisah setelah pasangan berpisah, sistem co-parenting ini masih sulit dijalankan secara seimbang. Artinya, saya tetap merasa perlu dan butuh untuk tetap bisa menghasilkan keuangan secara mandiri. Tujuannya, selain untuk kebutuhan saya pribadi (meskipun saya sudah diberi nafkah yang cukup oleh suami), tapi saya ingin lebih leluasa juga untuk kebutuhan saya pribadi dan anak-anak, serta orangtua. Alhamdulillah, meski - faktanya saya lebih menikmati jadi freelancer, rejekinya selalu dicukupkan oleh Allah Swt.

Dari awal menikah lagi, saya sudah bilang sama diri sendiri, kalau saya masih tetap harus mandiri dan bertanggung jawab. Dan yang paling utama, selalu ingat kalau saya nggak boleh menyerahkan kebahagiaan saya pada siapapun, termasuk pasangan. Sayalah yang perlu menciptakan kebahagiaan saya sendiri. Dengan begitu, saya lebih ringan menghadapi berbagai ekspektasi yang dirasa ada yang belum sesuai. 

Kalau menurut teman-teman, gimana?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliah Lagi - Tantangan Seru, Di Tengah Hidup Yang Mulai Santuy

Bukan hidup kalau nggak memberikan kejutan-kejutan, ya.  Tapi ya, karena kita hidup, sejatinya kita tetap memiliki harapan.  Siapa sangka, di tengah perjalanan hidup yang sudah mulai santuy, aku malah memutuskan untuk kuliah lagi. Sebuah keputusan yang awalnya datang tiba-tiba, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata punya makna besar dalam perjalanan hidupku.   Keputusan ini muncul saat aku merasa ada ruang kosong yang perlu diisi. "Kosong?" Bukannya Mira sibuk terus, ya. Kadangkala, sibuk itu nggak melulu memenuhi ruang yang ada dalam diri. Bisa jadi, beberapa hal sudah tak sejalan, namun tetap perlu dilakukan. Tapi jujur, meski sudah cukup nyaman dengan ritme slow living , ada dorongan dari dalam hati untuk kembali belajar. Karena buatku, sepanjang aku hidup, ya selama itu pula adalah proses belajar. Rumus mengosongkan gelas itu, boleh jadi selamanya akan aku pegang. Usia 40 plus-plus, tau-tau kuliah lagi. "Nyari apa sih, Mir?" :)) Jadi, awalnya begini, Di suatu sor...

Hati Seperti Kertas

Pernahkah kamu mendengar ungkapan bahwa "hati perempuan bagaikan kertas?" Lembaran putih yang mudah dilipat, digambar, dan diwarnai dengan tinta kata dan rasa. Ungkapan ini mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kompleksitas dan keindahan hati wanita. Kertas, dalam kesederhanaannya, memiliki kekuatan untuk menyimpan cerita. Setiap goresan pena, setiap guratan tinta, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Begitu pula hati perempuan, yang mampu menyimpan kenangan, cinta, dan luka dengan begitu detail dan penuh makna. Seperti kertas yang mudah dilipat, hati perempuan pun mudah tergerak oleh emosi. Sukacita dan kesedihan, cinta dan benci, semua dapat mewarnai hatinya dengan begitu cepat dan intens. Kepekaan ini yang membuat perempuan begitu istimewa, mampu merasakan dan memahami dunia dengan lebih mendalam. Namun, sama seperti kertas yang mudah robek, hati perempuan pun memiliki sisi rapuhnya. Luka hati, pengkhianatan, dan kekecewaan dapat meninggal...