"Laki-laki sejati itu bukan yang mengandalkan perempuan, namun yang mampu membesarkan perempuan" Dr. Devie - Klinik Digital
Bisa dibayangkan nggak, ketika dihadapkan dengan 5 orang perempuan hebat di depan mata, dan kami berdiskusi mengenai teknologi digital. Jujur, meski saya sudah mengenal internet dan media sosial ini sejak zaman kuliah dulu, namun mendengarkan sharing-sharing dari para perempuan ini, membuat saya berdecak kagum. Ternyata, dunia digital ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan. Faktanya, di Indonesia sendiri telah terjadi kesenjangan digital yang menurut data APJII, bahwa pengguna internet perempuan di Indonesia sekitar 49,1%, sementara kaum laki-laki 50.7%. Pertanyaannya, kenapa bisa seperti itu? Saya coba merangkum catatan dari para perempuan di berbagai bidang ini, hasil dari Diskusi Publik : "Perempuan & Teknologi Digital" yang diselenggarakan oleh ICTWatch, Toronto University, The Citizen Lab, dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia, tanggal 3 Mei lalu.
Partisipasi Perempuan Di Dunia Teknologi
Teknologi Digital - Sylvia Sumarlin (Mba Evi), Dewan Penasehat Federasi Teknologi Informasi Indonesia
Sebagai perempuan yang bekerja di dunia Forensik Digital Investigator sejak 2012 dan CEO di dunia teknologi informasi, dan mungkin satu-satunya perempuan yang berpastisipasi di Cyber Security TNI saat ini, Mba Evi menyampaikan bahwa ketertarikan perempuan dalam bidang ini masih minim. Hal ini disebabkan karena perempuan masih memiliki kertebatasan dari sisi keilmuan, waktu, dan pertimbangan keluarga. Tantangan dalam bidang ini juga, karena karakter teknologi selalu menyuguhkan hal baru - tidak pernah sama, selalu berubah-ubah. Sehingga, capaian kaum perempuan di bidang ini boleh jadi baru sampai di level manager atau asisten manager. Jikapun ada sampai level GM, mungkin beberapa saja. Mendengar sharing mba Evi ini, saya juga nggak bisa membayangkan kerjanya bagaimana dan seperti apa, apalagi tekait hal teknis. Gambarannya, "tahu film CSI (Crime Scene Investigation)?" Nah, kaya gitu kerjaannya.
Tapi mba Evi sendiri meyakinkan, bahwa beliau 100% sangat menyukai bidang ini. Jadi, kalau dulu saya mengenal Bapak Internet dan media sosial adalah Alm Pak Nukman Lutfi, dan saat ini masih ada juga Kang Onno W Purbo, Bapak Teknologi Informasi Indonesia, dan saya mengasumsikan kalau mba Evi ini adalah Ibu Teknologi Informasi yang ada di Indonesia.
Politik dan Teknologi - Irene Poetranto, Senior Researcher & Doctoral Candidate Toronto University
Fakta yang ada saat ini, bahwa dunia teknologi masih didominasi oleh laki-laki. "Makanya, saya BT. Kok, laki-laki semua, sih." Begitu tutur mba Iren, yang menjadikan tantangan tersebut menjadi motivasi produktifnya dalam menyelesaikan program PHD yang Inshaallah selesai tahun depan. Dalam teknologi secara spesifik menurut pemahaman mba Iren, sekitar 20-30 tahun ke belakang rekruitmen perempuan dalam bidang teknologi, menurun. Hal ini pun disebabkan karena kebanyakan perusahaan-perusahaan teknologi menyatakan bahwa teknologi ini adalah "mainan anak laki-laki." Di Kanada sendiri (tempat mba Iren saat ini menetap), mulai terlihat peningkatan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang teknologi (khususnya teknik). Harapannya, di Indonesia juga mengalami peningkatan. Tantangan lain dari sisi akademis menurut mba Iren (khususnya perempuan) adalah kesenjangan upah antara industri dan pemerintah (asn). Akibatnya karena tidak bisa bersaing dengan upah. Apalagi jika bicara teknologi, rata-rata fokusnya hanya pada hal-hal yang seksis saja. Artinya hanya fokus dalam teknologi saja, bukan pada impact-nya (dampak sosialnya). Let say : "kita perlu meningkatkan penetrasi pengguna internet perempuan, tetapi dampaknya juga perlu dipertimbangkan." Perempuan yang lebih vokal mengeluarkan pendapatnya, kerap kali mendapatkan cyber bully. Untuk itu, perlu keberagaman, bukan dari segi gender saja, namun juga keberagaman dari profesi lainnya. Dan karena perempuan adalah populasi separuh dunia, maka perempuan adalah "Necessary value, not added value."
Sektor Industri E-Commerce - Safira Pusparani, Bidang Perlindungan Data Pribadi & Keamanan Siber idEA
Mba Safira dari GoTo mengatakan bahwa kesenjangan digital pada sektor industri pada perempuan ini terjadi karena peran ganda yang dimiliki perempuan. Selain itu, minimnya akses terhadap akses teknologi dan informasi, modal, dan pasar, serta kesenjangan upah, perlindungan pekerja, juga kesempatan kerja yang tidak setara. Padahal tingkat pencapaian pendidikan perempuan di Indonesia cukup tinggi. Namun hanya 60.18 % yang akhirnya berpatisipasi dalam pasar tenaga kerja. Lagi-lagi pertanyaannya, "kok bisa, ya?"
Namun, fakta yang menarik lainnya, dari pasar teknologi e-commerce, justru mayoritas pemilik usaha umkm adalah perempuan, yang memberikan kontribusi sebesar 9.1% pada ekonomi nasional. Hanya saja, mereka tidak tahu usahanya mesti diapain, atau gimana cara mengembangkannya. Untuk itulah, para pemilik e-commerce ini seringkali melakukan pelatihan-pelatihan kepada pemilik usaha umkm - khususnya perempuan, dan mendorong mereka agar dapat memanfaatkan tools-tools yang telah disediakan, ataupun melalui pelatihan pemberdayaan perempuan dalam sektor digital.
Social Silent Treatment - Dr. Devie Rahmawati, Dosen Vokasi Universitas Indonesia & Klinik Digital
Yang tidak kalah menarik juga, adalah sharing yang disampaikan oleh mba Devie dari Klinik Digital, bahwa isu yang perlu kita perhatikan saat ini adalah terkait Social Silent Treatment yang berkaitan dengan 'percuanan.' Fakta bahwa pengguna investasi bodong dan pinj0l, menurut data dari No Limits, adalah Guru (70% guru adalah perempuan), orang-orang yang diPHK, dan para ibu rumah tangga. Namun, kita juga boleh memiliki harapan, bahwa menurut data OJK, tingkat inklusi perempuan (yang mengerti) soal investasi bodong/ pinjol mulai membaik. Tentu, hal ini karena adanya program literasi digital yang dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk oleh ICTWatch, Siberkreasi, Japelidi ataupun organisasi lain.
Kalau melihat fakta lainnya, perempuan ini juga kerap menanggung beban yang cukup tinggi dalam memikirkan pemenuhan atau penggunaan biaya hidup. Sehingga, kadangkala ketika dikasih duit nih sama suami, dan banyak keperluan untuk bayar ini itu urusan domestik rumah tangga, perempuan sendiri yang mesti putar otak gimana cara baginya. Lucunya, dalam beberapa kasus (misal : ada seorang laki-laki yang melakukan korupsi), yang disalahkan malah perempuannya. Padahal, korupsi mah ya, emang laki-lakinya saja yang khilaf. Hal inilah salah satu yang menyebabkan perempuan terpaksa terjerumus dalam pinjol. Untuk itulah, yang perlu menjadi perhatian adalah, bukan sekadar digitalnya saja, namun bagi perempuannya yang merupakan pejuang utama dalam keluarga dan juga bangsa.
ICTWatch yang memiliki salah satu program yang fokus terhadap Digital Perempuan, mengajak dan mendorong para perempuan untuk bisa lebih cakap digital, khususnya untuk keamanan data privasi dan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) yang lamannya juga bisa dicek di stopkbgo.id Sehingga harapannya indikator digital perempuan yang 3 tahun ini menurun, bisa semakin meningkat. Dan hampir 3 jam diskusi ini terselanggara, saya sama sekali tidak merasa bosan, karena diskusi berjalan hangat dan menyenangkan, dipandu oleh Mba Ida Ayu Pasasti :)
Komentar
Posting Komentar