"Kita perlu membentuk kembali persepsi kita sendiri tentang bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Kita harus maju sebagai perempuan dan memimpin." - Anonim -
Quotes di atas, adalah satu diantara banyak quotes tentang bagaimana diperlukannya upaya perempuan dalam memahami dirinya sendiri dan bergandengan tangan dengan perempuan lain. Buat saya pribadi, membahas dunia perempuan selalu memberikan tantangan dan kekepoan tersendiri. Kompleksnya seorang perempuan, menempatkan posisi perempuan yang seringkali dipertanyakan, disanggah, disinggung terkait kehidupan sosialnya, status, dan juga pendidikannya. Belum lagi, kalau bicara spesifik status sosial; perempuan single, menikah, perempuan bekerja, janda, atau mereka yang memilih dengan jalannya masing-masing. Nggak heran, kalau hal tersebut justru bisa menimbulkan gap yang cukup tinggi dengan lawan jenis, dan tidak menutup kemungkinan antar sesama perempuan itu sendiri.
Namun di era saat ini, terkhusus dalam perkembangan teknologi dan informasi di ruang digital, saya melihat peran perempuan sangat bisa diperkuat. Pertanyaannya, apakah semua perempuan dapat mengambil peluang ini sebagai bentuk dalam proses mengembangkan valuenya, atau justru ini menimbulkan persaingan antara sesama perempuan?
Berangkat dari pengalaman membentuk dan membesarkan komunitas perempuan, saya melihat hal tersebut masih beririsan. Tagline women empowering women, bisa jadi hanya sebuah teori saja. Hal ini bisa disebabkan karena perempuan (dengan sisi lembutnya), kerap kali bisa saling memengaruhi dalam hal kebaikan, atau sebaliknya. Hal ini juga didorong keinginan kuat dalam diri perempuan dalam mencari apresiasi. Oleh karena itu, sebagai terapi diri, perempuan perlu mengembangkan diri dalam menciptakan sebuah karya. Sederhananya, "biar nggak saling nyinyir, atau biar perempuan bisa lebih berdaya dari masa ke masa."
Contoh gap sesama perempuan yang kentara sekali dalam pandangan saya pribadi, adalah : persaingan dalam kecantikan, eksitensi, stigma pada status sosial (janda), yang semua itu terangkum dalam sebuah kompetisi. Kompetisi ini bisa jadi kompetisi yang sehat hingga memberikan dampak saling termotivasi, namun tak jarang berakhir pada kompetisi saling menjatuhkan, dan terjadinya konflik serta permusuhan. Alih-alih mau mengakui kelebihan perempuan lain, sebagiannya mungkin hanya akan mencibir. Suka atu enggak, kenyataan seperti itu bisa saja terjadi.
Sebelum menarik kesimpulan dari tulisan ini, 3 hal yang sama pahami terkait kekuatan yang melekat dalam diri perempuan, antara lain : Koneksi, Kolaborasi, dan Komunikasi.
Koneksi
Jika saja perempuan memahami tentang kesetaraan dan potensi yang bisa dimunculkan secara kolektif, maka hal ini bisa menjadi support system yang paling kuat. Membangun koneksi bisa dilakukan dengan menjaga track record atau jejak digital yang berdampak baik bagi perempuan lain. Dari koneksi inilah dapat membuka peluang atau kesempatan untuk mengembangkan diri.
Kolaborasi
Ini adalah bagian dari hasil koneksi yang dibangun. Peluang atau kesempatan yang didapatkan dari koneksi bisa menjadi keuntungan bagi sesama perempuan. Tidak sedikit karya yang dihasilkan dari sebuah kolaborasi. Ya, karena pada dasarnya, perempuan cenderung senang berkumpul, (seperti arisan, gathering dll)
Komunikasi
Konon, perempuan bukanlah ahli pidato atau diplomat ulung. Tapi kemampuannya dalam merangkai kata, dan juga pelibatan emosi, intonasi, dan ekspresi, membuat komunikasi yang terbangun dapat tersampaikan dengan baik. Bahkan, jika dalam dunia bisnis, komunikasi perempuan ini menjadi nilai jual untuk meyakinkan rekan bisnis. Jika sesama perempuan membangun budaya komunikasi sesuai konteksnya, maka koneksi dan kolaborasi akan berlangsung lama. Sayangnya, saya seringkali menemui sebagian perempuan menggunakan keahlian komunikasi ini untuk memberikan komentar yang seolah menghakimi sesama perempuan. Khususnya di ranah digital. Soal Perempuan dan teknologi Digital, kapan-kapan akan saya tulisakan juga di blog ini.
Kesimpulannya, bisakah perempuan saling bergandengan? Karena saya bicara pengalaman, tentu saja jawabannya "bisa," menurut saya. Tantangannya boleh jadi ada pada ranah emosional sesama perempuan itu sendiri. Namun, inilah yang perlu kita sadari, bahwa dalam segala hal di kehidupan ini, kita akan selalu dipertemukan dengan perbedaan. Dan itu, nggak apa-apa. Karena untuk menjadi perempuan matang (kaya buah aja), orang akan melihat respon diri kita pada suatu hal atau kejadian. Sementara asumsi yang saya ketahui di masyarakat umum, bahwa perempuan membutuhkan 20.000 kata setiap hari untuk diungkapkan, maka gimana caranya 20.000 kata itu (meskipun perlu dikurangi), namun tetap bisa memberikan respon bermakna, khususnya ketika berkomunikasi dengan orang lain. Guru saya pernah berkata, bahwa untuk bisa memberi respon yang bermakna dalam setiap pembicaraan, maka latihlah diri kita untuk lebih banyak mendengarkan. Bahkan, nggak perlu memberi nasihat jika tidak diminta. Meski saya sadari, kalau pas lagi dengerin curhat, suka gemas pengin langsung ngomentari. Kamu, gitu juga, nggak? Hehe.
Tulisan ini opini saya pribadi, saya senang berdiskusi. Jadi kalau teman-teman punya opini lain, boleh lho, tulis di kolom komentar.
Komentar
Posting Komentar