Kompromi, katanya, adalah tentang "kita." Bukan lagi sekadar "aku" atau "kamu." Tapi apa arti "kita" kalau di dalamnya masih ada ego yang terus beradu? Mungkin karena itulah, kompromi sering dianggap sebagai seni—sesuatu yang tidak memiliki rumus pasti untuk dilakukan.
Secara Teori Interpersonal menurut Hendrick, C., & Hendrick, S. S. (2002). Close Relationships: A Sourcebook, kompromi bisa dimaknai tentang sebuah komunikasi efektif dan keterbukaan (self-disclosure) yang bisa dijadikan landasan bagi keintiman dan kepuasan hubungan. Termasuk di dalamnya pelibatan emosi. Pertanyaannya, apakah untuk menemukan kesepakatan dalam kompromi, masing-masing dari kita sudah menemukan pola komunikasi yang tepat?
Seorang teman pernah bilang, kalau "Kompromi itu mendengarkan tanpa merasa terancam." Dan menurutku ini masuk akal. Seringkali kita jadi defensif ketika pasangan mengungkapkan pandangannya yang berbeda, atau boleh jadi sebaliknya. Padahal, aku pribadi terkadang hanya ingin didengarkan. Tapi, seringkali juga, aku bertemu dengan beberapa orang, yang kalau aku lagi sampaikan sesuatu, eh pembicaraanku dipotong-potong terus. Kesal, sih. "Emang nggak bisa ya, dengerin orang sampai tuntas ngomong dulu?" :)) Kalau sudah begitu, aku memilih menghentikan apa yang ingin aku sampaikan.
Aku juga pernah baca sebuah artikel, kalau kompromi adalah tentang melunakkan ego tanpa kehilangan prinsip. Hmm, ini cukup rumit. Aku sering melihat pasangan di mana salah satu pihak terlalu sering mengalah, hingga akhirnya kehilangan jati dirinya dan merasa insecure. Tapi pada akhirnya aku semakin menyadari, kalau menjaga keseimbangan antara memberi dan tetap mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri kita, tetap perlu memiliki porsi masing-masing. Kadang kita perlu memberi makan ego orang lain, tapi sesekali nggak apa juga memberi makan ego sendiri. IMHO, ya. :)
Lalu bagian ini ; "kalau kompromi juga soal saling mengingatkan." Biasanya nih, konsep "mengingatkan itu kerap kali nggak pada tempatnya. Dan kebanyakan dari kita - bisa jadi, saat diingatkan, menganggapnya hal tersebut adalah bentuk self-attack dari lawan bicara. Apalagi mengingatkan dengan nada yang menggurui. Sementara dalam perjalanan cinta, aku percaya ketika pasangan mengingatkan, tujuannya adalah pengingat akan hal-hal baik. Namun, cara menyampaikannya itu penting. Karena siapa sih yang suka merasa disalahkan? Mengingatkan seharusnya membawa kita lebih dekat pada solusi, bukan malah menciptakan jarak dan bikin emosi nggak nyaman
Dan menurutku, hal terpenting dari kompromi adalah menerima perbedaan. Karena nggak ada pasangan yang benar-benar sama dalam segala hal. Aku, misalnya, suka pantai, sementara kamu lebih suka gunung. Aku penikmat kopi, kamu penikmat teh. Kalau kita terus berdebat soal perbedaan ini, kapan kita bisa menikmati waktu bersama?
Tapi... apakah kompromi selalu cukup? Aku rasa juga, nggak. Karena Kompromi tanpa upaya untuk saling membahagiakan rasanya seperti rumah tanpa jendela—tertutup dan sesak. Cinta, sesederhana apa pun, tetap perlu saling memberi ruang untuk kebahagiaan.
Dan nggak kalah penting, kompromi itu soal saling memanusiakan. Menghargai pasangan sebagai individu dengan perasaan dan mimpi. Memberikan ruang bagi ketulusan untuk hadir tanpa tekanan. Cinta yang tulus tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menerima ketidaksempurnaan dengan hati yang lapang.
Memang PR, sih. Faktanya, nggak semua orang bisa langsung ahli berkompromi. Termasuk aku pribadi. Tapi mungkin, di situlah inti cinta: perjalanan panjang untuk terus belajar. Belajar mendengarkan, memahami, menerima, dan tetap menerima satu sama lain meski tidak selalu sempurna. (((kecuali KDRT yaa)))
Gimana, apakah kompromi sudah jadi bagian dari perjalanan cintamu?
Komentar
Posting Komentar