Langsung ke konten utama

Dengar-Dengar, Cinta Itu Soal Kompromi


Seringkali aku dengar, kalau cinta itu soal kompromi. Seringkali juga aku coba memikirkan maknanya seperti apa. Tapi semakin dipikirkan, semakin banyak pertanyaan, apakah kompromi itu sesederhana yang dibayangkan? Nyatanya, pasangan yang sudah bersama puluhan tahun pun masih sering bertengkar soal hal-hal kecil. Lalu, gimana dengan mereka yang baru memulai hubungan? Apakah mereka benar-benar siap untuk berkompromi?

Kompromi, katanya, adalah tentang "kita." Bukan lagi sekadar "aku" atau "kamu." Tapi apa arti "kita" kalau di dalamnya masih ada ego yang terus beradu? Mungkin karena itulah, kompromi sering dianggap sebagai seni—sesuatu yang tidak memiliki rumus pasti untuk dilakukan.

Secara Teori Interpersonal menurut Hendrick, C., & Hendrick, S. S. (2002). Close Relationships: A Sourcebook, kompromi bisa dimaknai tentang sebuah komunikasi efektif dan keterbukaan (self-disclosure) yang bisa dijadikan landasan bagi keintiman dan kepuasan hubungan. Termasuk di dalamnya pelibatan emosi. Pertanyaannya, apakah untuk menemukan kesepakatan dalam kompromi, masing-masing dari kita sudah menemukan pola komunikasi yang tepat?

Seorang teman pernah bilang, kalau "Kompromi itu mendengarkan tanpa merasa terancam." Dan menurutku ini masuk akal. Seringkali kita jadi defensif ketika pasangan mengungkapkan pandangannya yang berbeda, atau boleh jadi sebaliknya. Padahal, aku pribadi terkadang hanya ingin didengarkan. Tapi, seringkali juga, aku bertemu dengan beberapa orang, yang kalau aku lagi sampaikan sesuatu, eh pembicaraanku dipotong-potong terus. Kesal, sih. "Emang nggak bisa ya, dengerin orang sampai tuntas ngomong dulu?" :)) Kalau sudah begitu, aku memilih menghentikan apa yang ingin aku sampaikan. 

Aku juga pernah baca sebuah artikel, kalau kompromi adalah tentang melunakkan ego tanpa kehilangan prinsip. Hmm, ini cukup rumit. Aku sering melihat pasangan di mana salah satu pihak terlalu sering mengalah, hingga akhirnya kehilangan jati dirinya dan merasa insecure. Tapi pada akhirnya aku semakin menyadari, kalau menjaga keseimbangan antara memberi dan tetap mempertahankan hal-hal yang penting bagi diri kita, tetap perlu memiliki porsi masing-masing. Kadang kita perlu memberi makan ego orang lain, tapi sesekali nggak apa juga memberi makan ego sendiri.  IMHO, ya. :)

Lalu bagian ini ; "kalau kompromi juga soal saling mengingatkan." Biasanya nih, konsep "mengingatkan itu kerap kali nggak pada tempatnya. Dan kebanyakan dari kita - bisa jadi, saat diingatkan, menganggapnya hal tersebut adalah bentuk self-attack dari lawan bicara. Apalagi mengingatkan dengan nada yang menggurui. Sementara dalam perjalanan cinta, aku percaya ketika pasangan mengingatkan, tujuannya adalah pengingat akan hal-hal baik. Namun, cara menyampaikannya itu penting. Karena siapa sih yang suka merasa disalahkan? Mengingatkan seharusnya membawa kita lebih dekat pada solusi, bukan malah menciptakan jarak dan bikin emosi nggak nyaman

Dan menurutku, hal terpenting dari kompromi adalah menerima perbedaan. Karena nggak ada pasangan yang benar-benar sama dalam segala hal. Aku, misalnya, suka pantai, sementara kamu lebih suka gunung. Aku penikmat kopi, kamu penikmat teh. Kalau kita terus berdebat soal perbedaan ini, kapan kita bisa menikmati waktu bersama?

Tapi... apakah kompromi selalu cukup? Aku rasa juga, nggak. Karena Kompromi tanpa upaya untuk saling membahagiakan rasanya seperti rumah tanpa jendela—tertutup dan sesak. Cinta, sesederhana apa pun, tetap perlu saling memberi ruang untuk kebahagiaan.

Dan nggak kalah penting, kompromi itu soal saling memanusiakan. Menghargai pasangan sebagai individu dengan perasaan dan mimpi. Memberikan ruang bagi ketulusan untuk hadir tanpa tekanan. Cinta yang tulus tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menerima ketidaksempurnaan dengan hati yang lapang.

Memang PR, sih. Faktanya, nggak semua orang bisa langsung ahli berkompromi. Termasuk aku pribadi. Tapi mungkin, di situlah inti cinta: perjalanan panjang untuk terus belajar. Belajar mendengarkan, memahami, menerima, dan tetap menerima satu sama lain meski tidak selalu sempurna. (((kecuali KDRT yaa)))

Gimana, apakah kompromi sudah jadi bagian dari perjalanan cintamu?  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliah Lagi - Tantangan Seru, Di Tengah Hidup Yang Mulai Santuy

Bukan hidup kalau nggak memberikan kejutan-kejutan, ya.  Tapi ya, karena kita hidup, sejatinya kita tetap memiliki harapan.  Siapa sangka, di tengah perjalanan hidup yang sudah mulai santuy, aku malah memutuskan untuk kuliah lagi. Sebuah keputusan yang awalnya datang tiba-tiba, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata punya makna besar dalam perjalanan hidupku.   Keputusan ini muncul saat aku merasa ada ruang kosong yang perlu diisi. "Kosong?" Bukannya Mira sibuk terus, ya. Kadangkala, sibuk itu nggak melulu memenuhi ruang yang ada dalam diri. Bisa jadi, beberapa hal sudah tak sejalan, namun tetap perlu dilakukan. Tapi jujur, meski sudah cukup nyaman dengan ritme slow living , ada dorongan dari dalam hati untuk kembali belajar. Karena buatku, sepanjang aku hidup, ya selama itu pula adalah proses belajar. Rumus mengosongkan gelas itu, boleh jadi selamanya akan aku pegang. Usia 40 plus-plus, tau-tau kuliah lagi. "Nyari apa sih, Mir?" :)) Jadi, awalnya begini, Di suatu sor...

Perempuan Mandiri Itu Menyenangkan, Tapi Kadang Juga Capek

Ada satu masa di beberapa tahun ke belakang, saya merasa bahwa saya ini adalah Super Mom dan Super Woman. Gimana enggak, saya perlu melakukan segalanya sendirian. Mulai dari urusan domestik rumah, anak-anak, keuangan, dan lingkungan sekitar. Rasanya menyenangkan. Karena saya bisa jadi Bos untuk diri saya sendiri. Saya juga bebas melakukan hal-hal yang saya sukai, mewujudkan mimpi-mimpi tanpa kompromi, termasuk pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Boleh jadi, kehidupan saya yang seperti itu adalah kehidupan yang diimpikan bagi para Independent Woman. Dan iya, saya menikmati semua itu. Namun di sisi lain, nggak bisa dipungkiri ada rasa lelah yang diam-diam menghampiri. Menjadi perempuan mandiri itu juga pilihan. Pun dengan kondisi saat ini ketika saya telah memiliki pasangan kembali. Terbiasa mandiri membuat saya menemukan arah langkah kaki ini ke mana dan kendali penuh atas segala hal. Hanya saja, saat ini saya perlu berkompromi dengan pasangan atas apa yang ingin saya lakukan. B...

Hati Seperti Kertas

Pernahkah kamu mendengar ungkapan bahwa "hati perempuan bagaikan kertas?" Lembaran putih yang mudah dilipat, digambar, dan diwarnai dengan tinta kata dan rasa. Ungkapan ini mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kompleksitas dan keindahan hati wanita. Kertas, dalam kesederhanaannya, memiliki kekuatan untuk menyimpan cerita. Setiap goresan pena, setiap guratan tinta, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Begitu pula hati perempuan, yang mampu menyimpan kenangan, cinta, dan luka dengan begitu detail dan penuh makna. Seperti kertas yang mudah dilipat, hati perempuan pun mudah tergerak oleh emosi. Sukacita dan kesedihan, cinta dan benci, semua dapat mewarnai hatinya dengan begitu cepat dan intens. Kepekaan ini yang membuat perempuan begitu istimewa, mampu merasakan dan memahami dunia dengan lebih mendalam. Namun, sama seperti kertas yang mudah robek, hati perempuan pun memiliki sisi rapuhnya. Luka hati, pengkhianatan, dan kekecewaan dapat meninggal...