Seringkali aku dengar, kalau cinta itu soal kompromi. Seringkali juga aku coba memikirkan maknanya seperti apa. Tapi semakin dipikirkan, semakin banyak pertanyaan, apakah kompromi itu sesederhana yang dibayangkan? Nyatanya, pasangan yang sudah bersama puluhan tahun pun masih sering bertengkar soal hal-hal kecil. Lalu, gimana dengan mereka yang baru memulai hubungan? Apakah mereka benar-benar siap untuk berkompromi? Kompromi, katanya, adalah tentang "kita." Bukan lagi sekadar "aku" atau "kamu." Tapi apa arti "kita" kalau di dalamnya masih ada ego yang terus beradu? Mungkin karena itulah, kompromi sering dianggap sebagai seni—sesuatu yang tidak memiliki rumus pasti untuk dilakukan. Secara Teori Interpersonal menurut Hendrick, C., & Hendrick, S. S. (2002) . Close Relationships: A Sourcebook, kompromi bisa dimaknai tentang sebuah komunikasi efektif dan keterbukaan (self-disclosure) yang bisa dijadikan landasan bagi keintiman dan kepuasan hubung...
Bukan hidup kalau nggak memberikan kejutan-kejutan, ya. Tapi ya, karena kita hidup, sejatinya kita tetap memiliki harapan. Siapa sangka, di tengah perjalanan hidup yang sudah mulai santuy, aku malah memutuskan untuk kuliah lagi. Sebuah keputusan yang awalnya datang tiba-tiba, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata punya makna besar dalam perjalanan hidupku. Keputusan ini muncul saat aku merasa ada ruang kosong yang perlu diisi. "Kosong?" Bukannya Mira sibuk terus, ya. Kadangkala, sibuk itu nggak melulu memenuhi ruang yang ada dalam diri. Bisa jadi, beberapa hal sudah tak sejalan, namun tetap perlu dilakukan. Tapi jujur, meski sudah cukup nyaman dengan ritme slow living , ada dorongan dari dalam hati untuk kembali belajar. Karena buatku, sepanjang aku hidup, ya selama itu pula adalah proses belajar. Rumus mengosongkan gelas itu, boleh jadi selamanya akan aku pegang. Usia 40 plus-plus, tau-tau kuliah lagi. "Nyari apa sih, Mir?" :)) Jadi, awalnya begini, Di suatu sor...