"Terkadang, kita merasa bahwa suara paling keras itu datang dari orang lain (kritikan), komentar, atau ekspektasi yang bikin tertekan. Tapi sebenarnya, suara yang paling sering bikin kita ragu dan takut justru berasal dari dalam diri sendiri, dari bisikan keraguan yang nggak pernah berhenti. Lucunya, dari bisikan kecil itulah sebenarnya kekuatan terbesar untuk mulai mencintai diri sendiri perlahan-lahan mulai tumbuh." Apa kabar, teman-teman? Semoga selalu sehat dan berbahagia. Seminggu ini saya nggak keluar rumah. Bukan karena sedang mengasingkan diri, tapi memang sedang menikmati me-time. Saking menikmatinya, seorang kawan bertanya, "apakah saya baik-baik saja?". Alhamdulillah, saya baik. Biasanya, orang yang mulai dan telah mengenal bagaimana saya, akan bertanya-tanya ketika saya nggak muncul dalam interaksi aktif beberapa lingkaran pertemanan. Ini karena dalam sehari-hari, biasanya saya selalu berinteraksi melalui group WhatsApp secara dua arah. Senang rasanya...
Seringkali aku dengar, kalau cinta itu soal kompromi. Seringkali juga aku coba memikirkan maknanya seperti apa. Tapi semakin dipikirkan, semakin banyak pertanyaan, apakah kompromi itu sesederhana yang dibayangkan? Nyatanya, pasangan yang sudah bersama puluhan tahun pun masih sering bertengkar soal hal-hal kecil. Lalu, gimana dengan mereka yang baru memulai hubungan? Apakah mereka benar-benar siap untuk berkompromi? Kompromi, katanya, adalah tentang "kita." Bukan lagi sekadar "aku" atau "kamu." Tapi apa arti "kita" kalau di dalamnya masih ada ego yang terus beradu? Mungkin karena itulah, kompromi sering dianggap sebagai seni—sesuatu yang tidak memiliki rumus pasti untuk dilakukan. Secara Teori Interpersonal menurut Hendrick, C., & Hendrick, S. S. (2002) . Close Relationships: A Sourcebook, kompromi bisa dimaknai tentang sebuah komunikasi efektif dan keterbukaan (self-disclosure) yang bisa dijadikan landasan bagi keintiman dan kepuasan hubung...