“Apa lagi yang bisa diperbuat, jika segala pertobatan kembali goyah dengan segala nafsu duniawi? Wallohualam, untuk mencari jawabannya saja, kadangkala saya malu.”
Saat menuliskan ini, saya banyak berpikir. Entah meneruskan setiap kalimat-kalimat ini, atau metutup kembali saja laptop ini dan membuka kembali segala hiburan yang bisa ditemui di media sosial. Bahkan, kadangkala pun, untuk menuliskan hal-hal seperti ini, saya seperti kehabisan ide. Terlebih jika ini berkaitan dengan sisi ruang dari diri, tentang rasa, pikiran atau apa yang menjadi mau saat ini. Meski sekadar dengan tujuan untuk berbagi, saya kembali mempertanyakan, “apakah ini layak saya tulis dan bagikan? Apakah tulisan-tulisan ini masih bisa memberikan inspirasi bagi yang membacanya?” Semua keraguan ini datang karena saya kian menyadari, bahwa saya hanyalah manusia biasa yang bisa rapuh atau goyah dalam segala hal. Bahkan jauh dari segala kesempurnaan. Kenyataannya, saya memang jauh dari segala kesempurnaan, karena kerap kali jatuh dan lalai dengan kewajiban-kewajiban sebagai UmatNya.
“Kawan, pernahkan dalam satu malam atau satu waktu, air mata jatuh dalam hening, menangisi segala dosa-dosa yang diingat, hingga setiap isak membuat dada sesak?” Jika pernah, maka saya tidak sendiri. Semakin berkurangnya usia, pikiran-pikiran tentang peran di dunia ini semakin mengingatkan pada bekal ibadah yang tentunya juga masih sedikit. Bagaimana saya tidak merasa malu jika dosa ini lebih banyak dibanding segala ibadah-ibadah yang kelak menjadi amalan untuk mengantarkan ke surgaNya. Segala kesibukan yang menguras tenaga, pikiran, bahkan materi akan menjadi sia-sia, jika terbersit saja rasa iri, dengki di hati, atau kembali dengan sengaja membuat kesalahan-kesalahan.
“Ah, tapi hidup saya kan, baik-baik saja, rejeki lancar-lancar saja. Saya juga memiliki banyak teman.” Pikiran in jua yang kerap kali membuat saya seolah menjadi manusia paling sombong di dunia ini. Padahal, konsep Izin dan Ridho atas kehendakNya, sudah bukan lagi hal yang perlu dipertanyakan. Iya, sebagai manusia yang memiliki akal, saya mengerti makna tersebut. Allah Swt bisa mengijinkan segala sesuatu terjadi, hal baik atau hal buruk yang kita lakukan. Namun, apakah Allah ridho pada hal tersebut? Nyatanya, mengerti saja memang nggak cukup. Karena saya perlu terus berproses untuk memaknai agar semakin paham, bahwa mengejar ridhoNya-lah yang paling utama. Meski kenyatannya perlu meninggalkan hal-hal yang disukai selama ini. Baik menurut saya, belum tentu baik menurut Rabb.
Saya memercayai bahwa hidup selalu menawarkan impian dan harapan, dan ketika momen rasa sedih itu berulang, maka saya percaya bahwa tangan Rabb sedang bekerja. Dia mengetuk hati ini dengan lembut, dalam tangisan, dalam keheningan atau dalam rasa sepi yang hadir. Dulu, saya kerap melawan perasaan tersebut, hingga menitipkan segala ekspektasi pada makhluk, agar saya tetap ditemani, diperhatikan, terlebih disayang mungkin, oleh teman atau sahabat. Saya berpikir bahwa ketika bersedih tanpa sebab, ini karena mereka yang tidak memberi perhatian lagi, ini karena saya sudah tidak berarti lagi di mata mereka. Sehingga pikiran ini berisi Blame (menyalahkan), Excuse (beralasan), dan Justify (pembenaran). Apakah wajar seperti itu? Saya tidak ingin juga menghakimi perasaan dan pikiran sendiri, karena ini akan diterima sebagai bagian dalam proses bertumbuh.
“Berbenah Tak Pernah Salah.”
Kalimat ini kerap saya sampaikan pada diri sendiri. Bukan untuk memberikan justify atas kesalahan-kesalahan, walau saya akui, saya manusia yang tak luput dari salah. Karenanya, jika keinginan untuk berbenah itu hadir, saya percaya bahwa Rabb sedang mengetuk hati ini. Wallohualam. Setidaknya saya meyakini bahwa setiap napas yang diembus saat bangun di pagi hari, atau memasrahkan diri untuk terpejam di malam hari, adalah rasa syukur yang begitu saya tinggikan pada Sang Pencipta. Segala rasa malu pada Rabb, saya jadikan motivasi agar mampu berbenah kembali sebaik-baiknya.
Kawan, apapun yang kamu rasakan saat ini, siapapun yang menjadi ekspektasimu dalam melangkah, hingga hadir kecewa dan bersedih, cobalah jeda sejenak. Jeda untuk kembali berdialog dengan diri sendiri, bertanya pada diri sendiri, bahkan kembali memeluk diri sendiri. Mungkin selama ini, bahkan saya pribadi pun sadar, bahwa saya terlalu keras pada diri dengan segala maunya. Saya yang menyebabkan hati ini kadangkala kembali bersedih atau kecewa. Maka tugas saya kembali untuk menyayangi muara jiwa yang bernama hati ini pada kondisi yang semestinya. Ingin dipeluk saat bersedih, maka lakukanlah pelukan pada diri sendiri (butterfly hug). Ingin dicintai, maka cintai dulu diri ini. Ingin diperhatikan, maka kembalilah peduli dengan jiwa yang ada dalam tubuh ini. Bukan orang lain yang melakukan itu semua. Cinta, ketenangan, dan kebahagiaan, adalah diri yang perlu dijaga keutuhannya. Berat? Mungkin! Capek? Iya! Kita, sama. Hehehe. Tetapi inilah proses, yang menuntun diri untuk terus bertumbuh, tak sekadar menjadi pribadi yang lebih dewasa, namun juga jauh lebih baik, lebih bijak dan mampu lebih bermakna.
Setiap perjuangan tak selalu mudah, memang. Termasuk berjuang dalam menjaga hati dan ketaatan padaNya. Selama kita hidup, tentu selama itu juga kita berproses. Melalui senyuman, rasa sakit, sedih, marah, kecewa, sepi atau apapun. Selayaknya peran kita di dunia ini, ya memang tugas kita adalah menjalankan peran. Maka setiap hari adalah peran-peran yang perlu dijaga, agar senantiasa kita bisa merasakan ketenangan, tanpa perlu lagi merasa kehilangan. Terima kasih, ya, sudah mau kembali ke diri sendiri. Maafkan mereka yang menyakiti, sayangi mereka, dan tetaplah menjadi baik sesuai versi terbaikmu.
Terima kasih, tulisan ini adalah cermin untuk diri sendiri, sebagai terapi jiwa dalam berefleksi. Thank You, I Learn!
Komentar
Posting Komentar