Langsung ke konten utama

Hati-Hati, Jadi Perempuan Jangan Terlalu Kuat!

 Sebuah pertanyaan yang masih sering saya dapatkan hingga saat ini; “Mir, sudah ada calon?” Atau; “Kamu, enggak kepengen nikah lagi?”

Dan sebuah judgement muncul : “Hati-hati, lho. Jadi perempuan jangan terlalu kuat dan mandiri. Nanti cowok-cowok pada insecure.”

Kurang lebih, dan lama-kelamaan saya ini makin terbiasa mendengar kalimat-kalimat tersebut.

Sebenarnya soal ini sudah pernah saya tuliskan juga, tapi kali ini saya coba membahas dari sisi perempuan, khususnya yang menyandang status Ibu tunggal, atau “miss independent” yang lekat sekali dengan stigma kekuasaan yang bisa mengancam lawan jenisnya. Kenapa mengancam? Karena hal ini kerap kali jadi bahasan hampir di setiap obrolan atau diskusi yang kebetulan saya ada di dalamnya. Dan seolah membuat lawan jenis menjadi merasa insecure. Meskipun, saya percaya di luar sana masih banyak laki-laki yang pandai menempatkan diri, dan tidak khawatir dengan ekualitas. Sebelum dilanjutkan, ada sebuah gambar yang saya temui dari akun IG nenglita, dan menarik perhatian saya untuk dibagikan di sini. Sumber gambar sendiri didapat dari Rappler, artikel Womens March 2017.

“Wogh”, saat membacanya, saya langsung terperangah. Semacam, “nah ini nih!” Seolah tulisan tersebut menegaskan apa yang ingin tersampaikan selama ini, yang kaitannya dengan stigma di atas.

“Laki-laki Berkualitas, Tak Takut Dengan Ekualitas.” 

“Maksudnya gimana sih?”

Jadi gini, ya. Berdasarkan pengalaman saya menjalani peran Ibu Tunggal selama 6 tahun ini, saya tidak menutup mata bahwa banyak teman-teman (khususnya teman pria) menganggap bahwa saya ini adalah perempuan kuat dan mandiri. Label ini diberikan karena ‘bungkus yang tersirat di media sosial’. Mereka melihat aktivitas saya yang cukup tinggi, tampilan-tampilan kegiatan ke sana – kemari, yang memang saya tampilkan dengan sadar di media sosial. But lemme clarifying, ya. Sebagai pegiat literasi digital, digital creator, blogger atau sebutan khas ala digital ini, saya merasa perlu memunculkan branding yang kaitannya dengan pekerjaan. Dan pekerjaan saya memang seputar aktivitas literasi, edukasi, ada juga promosi untuk sebuah brand. Jadi, kalaupun ada momen saya ‘terlihat’ jalan-jalan ke luar kota, keliling Indonesia, saya pastikan itu adalah sebagian waktu dari pekerjaan yang kebetulan saya manfaatkan sambil traveling. “kok enak, sih?” Ya emang, hehe! Nah, dari sinilah muncul persepsi bahwa saya ini perempuan kuat, mandiri, pintar atau terlalu pintar mungkin bagi mereka yang melihat. Sehingga dengan status saya sebagai single mom, menempatkan diri saya sebagai sosok yang terstigmakan “wah, Mira nih pasti kalau mau cari suami, pasti pilih-pilih deh.” Iya, ada yang langsung mengucapkan dengan lantang pula soal ini. And how’s my reaction? Senyum lebar!

Lalu semalam saya sempat menonton podcast serial lama Closed The Door-nya Deddy Corbuzer bersama Najwa Shihab, kebetulan ada momen dimana Mas Deddy juga mengucapkan hal yang sama pada Najwa Shihab, terkait bahasan perempuan. Karena sedang membahas soal “sweet woman“, dan ini adalah sambungan saat dialog Najwa Shihab terkait pertanyaan yang ditujukan kepadanya, “apakah Nana adalah seorang perempuan yang sweet?” Karena kita tahu sendiri bahwa Mba Nana ini memang perempuan cerdas, menginspirasi dan hebat sih menurutku. Tapi justru Mas Deddy juga seolah khawatir, bahwa adanya perempuan-perempuan seperti mba Nana ini, kalau di era sekarang seolah akan sulit mendapatkan pasangan.

“Cowok tuh, pasti mencari yang aman…, dan Lo itu nggak aman.” Celetuk mas Deddey (ini misal ya, kalau status mba Nana masih lajang)

Tapi kan, era saat ini, bukankah laki-laki perlu membuka mata, bahwa sekarang perempuan itu lebih banyak yang berdaya, agar tidak melulu terpedaya. Dan jawaban Mba Nana seperti dugaan, lugas dan tegas. Singkat dan padat.

“Ya, berarti itu cowok yang enggak pas buat gue.” Nah, saya sepakat banget!

Makin seru karena bahasan di podcast Mas Deddy nampak tetap menyenangkan, mengalir, dan saya sebagai perempuan mendapatkan banyak insight dari Mba Nana, thanks ya Mba. Kalau penasaran, cari saja di youtube-nya ya Mas Deddy ya.

So, the point is yah teman-teman, khususnya para teman pria nih. Monmaap banget. Sebenarnya perempuan-perempuan seperti yang dijabarkan oleh Mas Deddy dengan konteks Mba Nana, atau seperti saya dan perempuan lainnya yang terlihat smart, mandiri, kuat, dan gesit, ya memang diperuntukkan bagi laki-laki yang juga sepadan dengannya. Kalau saya atau yang lainnya dianggap pilih-pilih, ya masa mau cari suami seumur hidup (Inshaallah) enggak pilih-pilih sih. Kan nggak main comot saja di jalanan. Bukan juga dikaitkan dengan kesombongan. Kalau perempuan-perempuan seperti saya yang menyandang Ibu Tunggal, apakah salah ya, untuk kami memaksimalkan daya upaya menjadi kuat dan mandiri. Lalu, ketika nampak terlihat sukses, maka dikategorikan sebagai perempuan yang sulit dijangkau atau ketinggian. Ini kembali kepada persepsi, pemikiran dan kualitas pria itu sendiri, sama seperti gambar di atas. Kalau Anda memang laki-laki berkualitas, Anda nggak akan takut dengan ekualitas. Karena dengan adanya perempuan yang terbentur dan terbentuk oleh kehidupan dan kemudian berdaya sesuai dengan caranya, sebetulnya ini akan saling menguntungkan menjadi teman, sebagai partner yang menyenangkan. Asal, ya memang laki-lakinya bisa nyambung.

Memangnya, sekuat-kuatnya perempuan, semandiri, atau sepintar-pintarnya perempuan, apakah perempuan itu lalu lupa dengan kodratnya? Sudah bawaan lahirnya kok, perempuan punya sifat mengayomi, lembut dan memiliki kepekaan rasa. Ya otomatis ketika memiliki suami, ia akan hadir dengan sifat manjanya, mau diperhatikan, mau disayang, mau melayani sesuai kemampuan dan kapasitasnya, ya sealami itu. Kalaupun ditemukan perempuan yang tidak seperti itu di luar sana, terima juga kenyataannya ya memang ada yang seperti itu. Eh, ngomongin kodrat perempuan, ini juga perlu diingat, bahwa perempuan memiliki kodrat : hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Urusan domestik rumah tangga; nyapu, ngepel,masak, bersih-bersih, urus anak, adalah urusan bersama. Bukankah konsep suami istri adalah teamwork? Atau masih menganut, istri itu harus bangun jam 3 subuh, siapin sarapan, nyetrika, nyapu, ngepel, dan siapin keperluan suami, dan lalu baru bisa tidur menjelang tengah malam dan keadaan rumah bersih? Mending siapin duit, bayar art. Begitu…! (habis ini bisa-bisa gue makin diajuhi deh) wkwkwkwk.

By the way, saya berterima kasih kalau ada pria-pria mau berkomentar di tulisan ini. Silakan bagikan pemikirannya juga terkait perempuan-perempuan ‘tangguh, kuat, mandiri’ di mata pria. Yang pasti, saya meyakini, jodoh itu cerminan. Dan ketika mencari pasangan, saya juga percaya, Allah akan sandingkan dengan orang yang tepat. Kalau ada seseorang yang sedang mendekati calon pasangannya dan merasa ragu karena bisa-bisa perempuan itu dirasa dominan, bisa jadi, Anda memang bukan calon pasangannya yang sepadan. Tapi kalau Anda merasa mampu mengejarnya dengan keyakinan lillahi ta’ala, maka bisa jadi calon yang anda kejar adalah partner/ teman hidup yang menyenangkan kelak. Aamiin.

Semoga, yang jauh didekatkan. Yang mencari, segera dipertemukan. Yang sedang penjajakan, segera dihalalkan. Dan yang masih memilih sendiri, take your time. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuliah Lagi - Tantangan Seru, Di Tengah Hidup Yang Mulai Santuy

Bukan hidup kalau nggak memberikan kejutan-kejutan, ya.  Tapi ya, karena kita hidup, sejatinya kita tetap memiliki harapan.  Siapa sangka, di tengah perjalanan hidup yang sudah mulai santuy, aku malah memutuskan untuk kuliah lagi. Sebuah keputusan yang awalnya datang tiba-tiba, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata punya makna besar dalam perjalanan hidupku.   Keputusan ini muncul saat aku merasa ada ruang kosong yang perlu diisi. "Kosong?" Bukannya Mira sibuk terus, ya. Kadangkala, sibuk itu nggak melulu memenuhi ruang yang ada dalam diri. Bisa jadi, beberapa hal sudah tak sejalan, namun tetap perlu dilakukan. Tapi jujur, meski sudah cukup nyaman dengan ritme slow living , ada dorongan dari dalam hati untuk kembali belajar. Karena buatku, sepanjang aku hidup, ya selama itu pula adalah proses belajar. Rumus mengosongkan gelas itu, boleh jadi selamanya akan aku pegang. Usia 40 plus-plus, tau-tau kuliah lagi. "Nyari apa sih, Mir?" :)) Jadi, awalnya begini, Di suatu sor...

Perempuan Mandiri Itu Menyenangkan, Tapi Kadang Juga Capek

Ada satu masa di beberapa tahun ke belakang, saya merasa bahwa saya ini adalah Super Mom dan Super Woman. Gimana enggak, saya perlu melakukan segalanya sendirian. Mulai dari urusan domestik rumah, anak-anak, keuangan, dan lingkungan sekitar. Rasanya menyenangkan. Karena saya bisa jadi Bos untuk diri saya sendiri. Saya juga bebas melakukan hal-hal yang saya sukai, mewujudkan mimpi-mimpi tanpa kompromi, termasuk pergi ke mana saja tanpa ada yang melarang. Boleh jadi, kehidupan saya yang seperti itu adalah kehidupan yang diimpikan bagi para Independent Woman. Dan iya, saya menikmati semua itu. Namun di sisi lain, nggak bisa dipungkiri ada rasa lelah yang diam-diam menghampiri. Menjadi perempuan mandiri itu juga pilihan. Pun dengan kondisi saat ini ketika saya telah memiliki pasangan kembali. Terbiasa mandiri membuat saya menemukan arah langkah kaki ini ke mana dan kendali penuh atas segala hal. Hanya saja, saat ini saya perlu berkompromi dengan pasangan atas apa yang ingin saya lakukan. B...

Hati Seperti Kertas

Pernahkah kamu mendengar ungkapan bahwa "hati perempuan bagaikan kertas?" Lembaran putih yang mudah dilipat, digambar, dan diwarnai dengan tinta kata dan rasa. Ungkapan ini mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan makna mendalam tentang kompleksitas dan keindahan hati wanita. Kertas, dalam kesederhanaannya, memiliki kekuatan untuk menyimpan cerita. Setiap goresan pena, setiap guratan tinta, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Begitu pula hati perempuan, yang mampu menyimpan kenangan, cinta, dan luka dengan begitu detail dan penuh makna. Seperti kertas yang mudah dilipat, hati perempuan pun mudah tergerak oleh emosi. Sukacita dan kesedihan, cinta dan benci, semua dapat mewarnai hatinya dengan begitu cepat dan intens. Kepekaan ini yang membuat perempuan begitu istimewa, mampu merasakan dan memahami dunia dengan lebih mendalam. Namun, sama seperti kertas yang mudah robek, hati perempuan pun memiliki sisi rapuhnya. Luka hati, pengkhianatan, dan kekecewaan dapat meninggal...